Perang besar yang selama puluhan tahun hanya berupa ancaman akhirnya meledak di Timur Tengah. Israel dan Iran kini benar-benar s...
Perang besar yang selama puluhan tahun hanya berupa ancaman akhirnya meledak di Timur Tengah. Israel dan Iran kini benar-benar saling membombardir, dengan rudal, drone, dan jet tempur memenuhi langit Tel Aviv hingga Teheran. Serangan ini bukan lagi tentang perbatasan atau kelompok proksi, melainkan perang terbuka antar negara, yang sejak lama dirancang dalam skenario militer masing-masing. Yang menjadi pertanyaan kini: berapa lama Iran mampu bertahan?
Jika berkaca pada kasus Ukraina dan Rusia, perang di era modern tidak lagi tentang ukuran wilayah atau jumlah tentara semata. Rusia yang memiliki gudang senjata nuklir terbesar di dunia bahkan sampai terhuyung-huyung menghadapi Ukraina yang didukung penuh senjata dan logistik dari negara-negara NATO. Kini Rusia bahkan harus mengimpor senjata dari Iran dan Korea Utara untuk menambal cadangan perang mereka yang menipis.
Iran menghadapi situasi yang bahkan lebih genting. Israel mendapat suplai senjata tanpa batas dari Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis — tiga negara veto di Dewan Keamanan PBB yang akan memblokir upaya gencatan senjata jika belum mencapai target militer mereka. Selama ini, Iran memang punya jaringan aliansi di kawasan lewat kelompok proksi, tapi dalam perang konvensional terbuka seperti ini, kekuatan ekonomi dan logistik akan lebih menentukan.
Para analis militer memperkirakan Israel membutuhkan minimal dua minggu untuk melumpuhkan infrastruktur nuklir dan peluncur rudal utama Iran. Namun, untuk benar-benar melumpuhkan kemampuan bertahan Teheran, Israel tetap harus menyerahkan eksekusi terakhir ke Amerika Serikat yang memiliki senjata bunker buster penghancur fasilitas nuklir bawah tanah. Tanpa itu, fasilitas-fasilitas kunci Iran bisa saja kembali aktif begitu asap mereda.
Pertanyaan besar lainnya, mampukah Iran bertahan lebih dari sebulan tanpa mengalami keruntuhan ekonomi dan sosial? Negara itu saat ini masih di bawah sanksi internasional ketat, cadangan devisa terbatas, dan jaringan ekspor minyak yang terbatas ke negara-negara seperti China dan Suriah. Sementara pasokan senjata modernnya tak sebanding dengan kekuatan udara dan rudal pintar yang dimiliki Israel.
Sebagian kalangan menaruh harapan pada aliansi SCO (Shanghai Cooperation Organization) dan BRICS yang beranggotakan China, Rusia, India, dan beberapa negara berkembang lainnya. Secara ekonomi, organisasi ini bisa saja memberi Iran akses darurat logistik, cadangan uang digital yuan, dan jalur perdagangan alternatif. Namun melihat sikap China dan India yang sangat berhati-hati agar tidak terseret dalam konflik langsung, bantuan yang datang kemungkinan hanya sebatas diplomasi dan suplai barang sipil.
Rusia pun dalam posisi sulit. Negara itu masih bergelut di Ukraina dan menguras sumber dayanya sendiri. Meski hubungan Rusia-Iran belakangan cukup erat, kemampuannya untuk mengirim bantuan militer maupun finansial ke Iran saat ini sangat terbatas. Kalaupun ada, itu lebih bersifat barter senjata atau pertukaran teknologi drone seperti yang sudah terjadi sebelumnya.
Jika perang ini berlarut hingga dua bulan, ancaman terbesar bagi Iran bukan lagi serangan udara, melainkan potensi kerusuhan sipil, disintegrasi wilayah, dan sabotase dari kelompok oposisi dalam negeri yang akan dimanfaatkan oleh musuh-musuh Teheran. Terlebih, jika jaringan listrik dan komunikasi lumpuh, roda pemerintahan akan terganggu dan kelompok minoritas di wilayah perbatasan bisa saja memberontak.
Israel menyadari bahwa momentum adalah segalanya. Jika dalam dua minggu pertama mereka bisa menunjukkan keberhasilan menghancurkan situs-situs nuklir dan markas elite Garda Revolusi, moral pasukan Iran bisa turun drastis. Di sisi lain, jika korban sipil meningkat dan dampak ekonomi terlalu parah, tekanan internasional akan memaksa PBB untuk mendorong gencatan senjata.
Namun, dengan AS, Inggris, dan Prancis di balik Israel, resolusi semacam itu bisa saja diveto di Dewan Keamanan. Bahkan AS memveto keputusan PBB untuk memgakhiri genosida Israel di Gaza, Palestina, yang berarti sebuah kejahatan kemanusiaan didukung penuh oleh negara adidaya.
Situasi ini bisa menimbulkan preseden berbahaya di mana negara-negara veto seolah-olah bebas menentukan siapa yang boleh hidup dan siapa yang boleh dijatuhkan atau dibunuh. Hal ini dikhawatirkan akan mendorong negara-negara kecil lainnya untuk segera merapat ke kubu kuat agar aman dari ancaman.
Sementara itu, negara-negara yang belum menormalisasi hubungan dengan Israel pun akan berada di bawah tekanan diplomatik dan ekonomi. Ada potensi negara-negara Teluk, Asia Tengah, dan Afrika Utara yang selama ini netral, akhirnya terpaksa memberi konsesi ke Israel demi melindungi kepentingan mereka dan menghindari status musuh di mata Barat.
Perang ini tidak hanya soal Israel dan Iran, tapi soal siapa yang berhak memegang kendali tatanan dunia. Jika Iran bisa bertahan lebih dari tiga bulan tanpa mengalami keruntuhan total, itu akan menjadi pukulan berat bagi superioritas senjata Barat. Tapi jika Teheran tumbang cepat, itu bisa menjadi sinyal bahwa di masa depan, seorang kepala negara bisa dihabisi sesuka hati jika tak tunduk pada kepentingan negara-negara veto.
Satu hal yang pasti, dunia kini tengah menyaksikan babak baru geopolitik global, di mana hukum internasional bisa diabaikan atas nama "keamanan nasional" dan "hak mempertahankan diri". Pertanyaannya: siapa negara berikutnya yang akan mengalami nasib serupa jika berani menentang poros kekuatan ini?
Dibuat oleh AI
COMMENTS