Konflik antara Iran dan Israel tidak hanya berlangsung di medan perang terbuka, tetapi juga di ranah strategi, propaganda, dan operasi intelijen. Dalam perseteruan panjang ini, Israel dinilai berhasil mengeksploitasi beberapa kelemahan mendasar dalam kebijakan dan karakter Iran. Kelemahan-kelemahan itu bukan soal kemampuan militer semata, melainkan soal prinsip politik luar negeri, etika negara, dan kecenderungan Iran untuk menahan diri di saat musuhnya bertindak brutal.
Kelemahan pertama yang sering dimainkan Israel adalah soal kebijakan kemanusiaan Iran terhadap komunitas Yahudi di dalam negerinya. Di saat Israel tanpa ragu melakukan genosida terhadap warga Gaza dan siapapun yang menentangnya di Palestina, Iran tidak pernah membalas dengan melakukan tindakan serupa kepada warga Yahudi Iran. Padahal Iran memiliki komunitas Yahudi terbesar di kawasan setelah Israel, namun tetap dilindungi penuh. Bagi Israel, kelemahan ini adalah celah karena mereka tahu Iran terikat pada prinsip bahwa konflik politik tidak boleh dibawa ke ranah etnis dan agama domestik.
Kedua, Israel berani melakukan provokasi ekstrem dengan membombardir kedutaan Iran di Suriah dan bahkan belakangan menyerang wilayah Teheran langsung. Langkah ini didesain untuk memancing Iran melakukan balasan serupa ke kedutaan Israel di luar negeri. Tapi Iran tetap menahan diri. Meski punya cukup alasan dan kemampuan untuk membalas, Iran memilih tidak meniru taktik brutal itu karena bertentangan dengan prinsipnya menjaga martabat diplomasi internasional. Ini membuat Israel bebas bergerak, tahu Iran masih mengedepankan aturan hukum internasional.
Provokasi terhadap Iran juga dilakukan lewat dukungan Israel terhadap elemen-elemen separatis di perbatasan Iran, khususnya kelompok Kurdi bersenjata di Irak Utara, PJAK, PAK, Reza Pahlevi dll. Di saat Iran menuduh beberapa negara Eropa, Israel, dan AS menjadi penyokong kelompok ini, Iran tidak melancarkan serangan membabi buta ke pangkalan-pangkalan diplomatik atau instalasi sipil yang terlibat. Bahkan ketika Albania terang-terangan menjadi basis kelompok MeK yang memusuhi Iran, Teheran tetap membatasi responsnya hanya dalam konteks keamanan regional.
Kelemahan ketiga terletak pada sikap Iran yang cenderung enggan menyerang langsung negara-negara Barat atau fasilitas mereka di wilayah Timur Tengah tanpa provokasi. Israel, sebaliknya, dikenal tak segan melakukan tindakan nekat terhadap siapa saja yang menghambat hegemoninya, termasuk Uni Soviet dulu. Bahkan dalam sejarahnya, Israel pernah menyerang kapal angkatan laut AS, USS Liberty, di Laut Mediterania tahun 1967 yang menewaskan puluhan pelaut Amerika. Iran tidak pernah melakukan tindakan seberani itu terhadap AS maupun sekutunya, meski mendapat tekanan sanksi dan ancaman perang bertahun-tahun.
Di Gaza, Israel tanpa ragu membunuh lebih dari 160-an petugas PBB dalam waktu singkat selama agresi militernya. Itu langkah yang bahkan negara-negara dengan reputasi buruk di dunia sekalipun enggan melakukannya secara terang-terangan. Iran, meski memiliki masalah dengan beberapa lembaga internasional yang dinilai berpihak pada Israel, tidak pernah melakukan serangan langsung ke fasilitas sipil atau lembaga internasional. Prinsip Iran menahan diri dalam situasi ini dianggap sebagai kelemahan yang dimanfaatkan Israel untuk bergerak lebih brutal tanpa khawatir pembalasan setimpal.
Kelemahan kelima adalah soal ambisi teritorial. Israel selama ini dengan terang-terangan mencaplok wilayah-wilayah seperti Gaza, Tepi Barat, Lebanon Selatan, dan sebagian Suriah di Dataran Tinggi Golan serta belakangan Quneitra. Semua itu dilakukan dengan dalih keamanan nasional. Iran di sisi lain, meskipun memiliki pengaruh besar di Irak, Suriah, Lebanon, dan Yaman, tidak pernah secara resmi merampas wilayah kedaulatan negara lain. Kebijakan Iran lebih ke mempertahankan zona pengaruh tanpa harus melakukan aneksasi.
Israel menggunakan celah ini untuk menggambarkan dirinya sebagai kekuatan dominan yang siap melakukan apa saja untuk hegemoninya. Sementara Iran digambarkan lemah karena dianggap hanya berani bergerak lewat diplomasi dan demonstrasi tanpa mengambil langkah agresif terbuka. Narasi ini dipoles di media Barat untuk membangun persepsi global bahwa Israel adalah pihak yang menentukan arah Timur Tengah.
Meski demikian, prinsip Iran untuk tidak menyerang komunitas sipil minoritas, fasilitas diplomatik, atau merampas wilayah negara lain justru menjadi nilai diplomatik di mata sejumlah negara netral. Beberapa negara di Asia, Amerika Latin, dan Afrika menilai Iran lebih bermartabat ketimbang Israel dalam menjaga norma-norma hubungan internasional.
Namun di dunia realpolitik, prinsip sering kali dianggap sebagai kelemahan. Itulah sebabnya, Israel dan sekutunya terus mengeksploitasi keteguhan Iran itu untuk menekan Teheran dari berbagai sisi. Mulai dari sanksi ekonomi, operasi sabotase, hingga serangan terbuka ke Kedudes di Suriah dan Qasem Soleimani dkk di Irak.
Perbedaan karakter ini pula yang membuat konflik kedua negara tak kunjung usai. Iran memegang kendali lewat aliansi strategis dan diplomatik, sementara Israel lebih suka menggunakan kekuatan langsung dengan dukungan Barat. Hasilnya, Timur Tengah terus berada dalam siklus ketegangan yang tak kunjung padam.
Kini, dengan situasi kawasan yang semakin memanas, Israel tampak akan semakin berani mendorong batasnya. Serangan ke fasilitas Iran di Suriah dan Teheran kemungkinan akan terus berlanjut dengan harapan memancing respons keras dari Iran. Jika itu terjadi, Israel bisa mengklaim sebagai korban dan mendapat dukungan Barat.
Iran sendiri tampaknya tetap pada posisinya untuk menghindari konfrontasi terbuka berskala penuh. Strategi Iran tetap bertumpu pada pertahanan asimetris dan perlawanan lewat aliansi-aliansi regional, tanpa harus terlibat perang konvensional yang bakal menguntungkan lawannya.
Meski disebut sebagai kelemahan, keteguhan Iran dalam beberapa prinsip politik luar negeri ini justru membuatnya masih memiliki simpati global, khususnya di dunia Islam dan negara-negara Non Blok. Banyak yang menganggap Iran sebagai satu-satunya negara besar di Timur Tengah yang tetap menjaga integritas moral di tengah situasi brutal.
Dalam konteks geopolitik modern, karakter Iran ini tetap jadi dilema. Di satu sisi memberi keuntungan diplomatik, di sisi lain menjadi titik lemah yang terus dipermainkan Israel. Selama Israel didukung penuh oleh AS dan Barat, konflik ini diperkirakan tak akan menemui jalan damai dalam waktu dekat.
Kelemahan-kelemahan yang dimanfaatkan Israel itu menunjukkan bahwa konflik ini bukan hanya soal kekuatan militer, tetapi soal strategi memainkan persepsi, moralitas, dan keberanian melanggar batas. Dan selama Iran tetap pada sikap menahan diri, Israel tampaknya akan terus mencoba mendorongnya ke titik batas yang paling berbahaya.
Untuk itu, Menteri Luar Negeri Turkiye, Hakan Fidan, menyatakan bahwa Israel telah melakukan genosida di Gaza dan kini menyerang Iran, yang menurutnya berpotensi menyeret kawasan Timur Tengah ke dalam bencana besar. Ia menegaskan bahwa persoalan ini bukan sekadar soal Iran, Palestina, Suriah, atau Yaman, melainkan akar masalahnya adalah agresi Israel yang terus berlanjut tanpa henti.
Fidan mengecam keras kebijakan Israel yang dinilai tidak hanya merusak stabilitas regional, tapi juga mengancam perdamaian dunia. Menurutnya, tindakan Israel selama ini telah menciptakan pertumpahan darah dan penderitaan bagi banyak rakyat di Timur Tengah, sementara negara-negara Barat dinilai tutup mata terhadap kekejaman tersebut.
Presiden Turkiye, Recep Tayyip Erdogan, setelah mengecam serangan Israel ke Iran juga menyampaikan bahwa negaranya memandang membela rakyat Palestina dan Lebanon bukan hanya sebagai urusan politik, tapi juga sebagai kewajiban kemanusiaan dan persaudaraan. Ia juga memberikan apresiasi kepada negara-negara Afrika yang tegas menentang kebijakan genosida Israel, karena mereka memahami betul arti dari penjajahan dan kekejaman.
Erdogan memperingatkan dunia terhadap upaya membentuk tatanan geopolitik baru di Timur Tengah yang ia sebut sebagai "Sykes-Picot Baru". Menurutnya, kekuatan asing tengah berusaha membagi-bagi kawasan sesuai kepentingan mereka, seperti yang pernah terjadi saat perjanjian Sykes-Picot 1916, dan Israel berperan aktif dalam proyek itu. Pernyataan Erdogan ini menyinggung ambisi Israel untuk meralisasikan ambisi kolonialisme bernama Greater Israel yang akan mencakup Seluruh Palestina, Yordania dan Suriah dan sebagian Irak, Arab Saudi, Mesir dan Kuwait.
Turkiye salam pertemuan OKI juga menegaskan komitmennya untuk terus berdiri di sisi rakyat Palestina dan Lebanon, sembari menyerukan negara-negara kawasan agar bersatu menolak rencana-rencana asing yang bisa mengorbankan kedaulatan bangsa-bangsa Timur Tengah. Ankara memandang krisis ini sebagai ancaman bersama yang harus dihadapi secara kolektif.
Dibuat oleh AI
COMMENTS