Istilah dirty work dalam dunia politik dan intelijen merujuk pada tindakan-tindakan kotor, ilegal, atau tidak etis yang dilakuka...
Istilah dirty work dalam dunia politik dan intelijen merujuk pada tindakan-tindakan kotor, ilegal, atau tidak etis yang dilakukan sebuah negara atau kelompok untuk mencapai tujuan geopolitik mereka, tetapi tanpa ingin terlihat terlibat langsung. Biasanya, tugas ini dilimpahkan kepada pihak ketiga, boneka, atau negara sekutu agar pihak utama tetap bersih secara formal di mata hukum internasional. Dirty work bisa berupa pembunuhan politik, sabotase, kudeta, hingga operasi militer rahasia.
Selama bertahun-tahun, Iran menjadi target utama agenda dirty work dari Barat (AS, Eropa dkk). Berbagai operasi sabotase, pembunuhan ilmuwan nuklir, sanksi ekonomi, serangan siber, hingga operasi militer tak resmi kerap diarahkan ke Teheran. Barat, terutama Amerika Serikat, Inggris, dan Israel, secara sistematis berusaha melemahkan Iran melalui proxy atau operasi bayangan demi menjaga dominasi geopolitik di Timur Tengah. Iran dianggap penghalang utama terhadap agenda hegemoni energi dan politik di kawasan.
Baru-baru ini, pernyataan mengejutkan datang dari Kanselir Jerman Friedrich Merz yang terang-terangan memuji Israel karena “cukup berani” melakukan serangan ke fasilitas nuklir Iran. Merz bahkan menyebutnya sebagai “dirty work” yang dilakukan untuk kepentingan Barat. Ini menjadi pengakuan terbuka bahwa selama ini negara-negara Eropa, termasuk Jerman, memiliki kepentingan diam-diam dalam operasi-operasi ilegal terhadap Iran.
Pernyataan Merz menuai kecaman di dalam negeri Jerman sendiri. Banyak kalangan di Berlin berharap pemerintah Jerman bisa mengambil posisi lebih berimbang dalam konflik Iran-Israel yang semakin memanas. Namun kenyataannya, komentar Merz menunjukkan bahwa agenda dirty work terhadap Iran memang telah lama disiapkan dan kini sebagian besar telah dieksekusi lewat tangan Israel.
Dalam konteks ini, banyak pengamat mengingat prediksi Presiden Indonesia Prabowo Subianto yang beberapa waktu lalu menyebutkan bahwa Barat sedang menyiapkan skema destabilisasi terhadap Iran. Prabowo bahkan memperingatkan bahwa Iran akan mengalami pola tekanan yang sama seperti Irak, Libya, dan Suriah yang diguncang lewat kudeta, perang, hingga operasi intelijen terselubung.
Apa yang dikatakan Prabowo semakin relevan ketika terbukti bahwa sejumlah operasi Israel di Iran selama ini mendapat restu Barat. Serangan drone, pembunuhan pejabat militer, serta sabotase fasilitas nuklir Iran dilakukan dengan dalih menjaga keamanan regional, padahal merupakan bagian dari proyek dirty work untuk mematahkan kekuatan Iran.
Pertanyaannya, apakah Iran selama ini tahu mereka menjadi sasaran dirty work Barat? Jawabannya iya. Iran bahkan secara resmi menyatakan bahwa mereka telah menggagalkan banyak operasi mata-mata, upaya kudeta, hingga pembunuhan tokoh-tokoh penting. Intelijen Iran menuding Israel, AS, dan sejumlah negara Eropa terlibat aktif dalam skenario tersebut.
Hubungan Jerman dan Iran sendiri memiliki sejarah panjang. Pada era Kekaisaran Jerman dan awal abad ke-20, kedua negara memiliki hubungan diplomatik yang cukup erat. Namun saat Perang Dunia II, hubungan mereka menjadi ambigu karena pengaruh ideologi Nazi. Meski tidak terlibat langsung, sebagian elite Jerman waktu itu memandang Iran dengan potensi sebagai sekutu dalam menghadapi pengaruh Inggris di Timur Tengah.
Pasca perang, hubungan kedua negara berjalan pragmatis, namun Jerman tetap mengikuti garis kebijakan Barat. Dalam beberapa dekade terakhir, Berlin terlihat enggan mengutuk keras Israel dalam setiap agresi ke Iran. Bahkan, saat serangan udara Israel menewaskan pejabat tinggi Iran di Tehran beberapa waktu lalu, pemerintah Jerman justru diam dan cenderung membenarkan tindakan tersebut.
Banyak analis berpendapat bahwa posisi Jerman itu terinspirasi oleh warisan psikologis Nazi yang dahulu terobsesi soal dominasi geopolitik lewat pengendalian energi dan sumber daya. Kini, Jerman bersama sekutunya di Uni Eropa diduga memiliki kepentingan agar rezim Iran digulingkan demi menguasai cadangan migas raksasa negara tersebut, yang selama ini menjadi salah satu terbesar di dunia.
Pernyataan Merz pun seolah membenarkan asumsi itu. Apalagi sejak beberapa tahun terakhir, sejumlah perusahaan energi Eropa mulai menunjukkan minat terhadap ladang migas Iran jika sanksi dicabut atau rezim berganti. Isu “regime change” di Iran bukan sekadar wacana politik, tapi menjadi strategi geopolitik berkaitan dengan ketahanan energi Eropa pasca konflik Ukraina-Rusia.
Ketidaksimpatian Jerman terhadap korban serangan Israel di Iran pun menjadi pertanyaan. Banyak yang menyebut bahwa di balik sikap itu terdapat kepentingan ekonomi dan geopolitik. Jerman menilai bahwa keberlangsungan rezim anti-Barat di Teheran adalah ancaman bagi akses energi dan stabilitas kawasan yang selama ini dikendalikan NATO dan sekutunya.
Di sisi lain, Iran kini semakin memperkuat aliansi dengan Rusia, Tiongkok, dan sejumlah kekuatan regional lainnya sebagai respons atas tekanan Barat. Teheran juga menyadari bahwa skema dirty work terhadap negaranya tidak akan berhenti selama Iran tetap menolak tunduk pada sistem tatanan dunia versi Barat.
Kasus ini memperlihatkan bahwa konflik Israel-Iran lebih dari sekadar isu agama atau politik kawasan. Ini adalah persaingan memperebutkan kontrol sumber daya, jalur energi, dan pengaruh di kawasan Timur Tengah. Dirty work menjadi alat utama dalam pertarungan tak kasat mata itu, yang kini mulai terungkap ke publik.
Sementara itu, masyarakat internasional dituntut untuk tidak lagi memandang konflik ini sebatas rivalitas dua negara, melainkan bagian dari peta besar persaingan geopolitik dunia. Pernyataan Merz hanyalah salah satu dari sekian banyak bukti bahwa operasi-operasi kotor atas nama kepentingan Barat terhadap Iran telah berlangsung lama dan sistematis.
Kini, Iran berada di persimpangan antara tetap bertahan menghadapi konspirasi global atau tunduk demi meredakan konflik. Namun melihat pengalaman Irak, Suriah, dan Libya, Teheran tampaknya memilih bertahan meski harus menghadapi dirty work yang lebih brutal di masa depan.
COMMENTS