Jakarta — Sebuah kisah lama dari arsip kolonial Belanda kembali mencuat ke ruang publik setelah potongan berita lawas berbah...
Jakarta — Sebuah kisah lama dari arsip kolonial Belanda kembali mencuat ke ruang publik setelah potongan berita lawas berbahasa Belanda viral di media sosial pekan ini. Artikel surat kabar itu, yang terbit di era Hindia Belanda, memberitakan tentang permintaan seorang pemimpin Kerajaan Gowa di Makassar kepada Duta Besar Inggris di Jakarta untuk mengembalikan Australia kepada Gowa. Kisah itu sontak memicu diskusi di kalangan sejarawan, budayawan, dan pemerhati geopolitik.
Dalam berita tersebut disebutkan bahwa pemimpin Kerajaan Gowa saat itu menjelaskan kepada duta besar Inggris bahwa wilayah kekuasaannya dahulu meliputi Celebes, Filipina, Papua, Kepulauan Solomon, Marege, dan Australia. "Marege" adalah sebutan yang digunakan pelaut Makassar untuk Arnhem Land, kawasan di utara Australia yang kerap mereka datangi untuk berdagang dan menangkap teripang sejak berabad-abad lalu.
Dikisahkan pula dalam arsip koran itu bahwa saat masa kolonial, Inggris memanfaatkan Australia — yang disebut sebagai "pulau milik Gowa" — sebagai koloni hukuman. Sang pemimpin Gowa waktu itu menanyakan kapan Inggris berencana mengembalikan wilayah itu kepada pewaris sahnya.
Kasus ini, yang awalnya dianggap sebagai anekdot kolonial, sebenarnya bisa dipertimbangkan secara serius oleh keturunan Kerajaan Gowa di Makassar. Beberapa akademisi sejarah bisa mengusulkan agar jejak hubungan historis itu ditelusuri lebih dalam, mengingat pelaut Makassar memang tercatat berinteraksi aktif dengan penduduk asli Australia jauh sebelum kedatangan bangsa Eropa.
Sejumlah warganet menilai bahwa kasus ini memiliki kemiripan dengan langkah Kesultanan Sulu yang menuntut pengembalian wilayah Sabah dari Malaysia. Kesultanan Sulu sebelumnya menyewa wilayah tersebut kepada Inggris, namun setelah kemerdekaan Malaysia, hak-hak Kesultanan Sulu diabaikan. Sampai saat ini, keturunan Sultan Sulu tetap mengajukan klaim hukum atas Sabah melalui berbagai jalur, termasuk pengadilan arbitrase internasional.
Kemiripan kedua adalah skenario serupa dengan perjuangan warga Diego Garcia, kepulauan kecil di Samudera Hindia yang penduduk aslinya dipindahkan secara paksa sebelum pembangunan pangkalan militer AS-Inggris. Setelah bertahun-tahun, para pengungsi dan keturunannya terus menuntut hak untuk kembali ke tanah leluhur mereka, hingga akhirnya kasus tersebut dibawa ke Mahkamah Internasional dan Mahkamah Hak Asasi Manusia.
Kemungkinan ketiga adalah skenario membawa kasus pewaris Kerajaan Gowa ini ke jalur hukum internasional. Meskipun peluangnya kecil untuk menuntut pengembalian wilayah sebesar Australia, namun upaya ini bisa menjadi sarana pengakuan formal atas jejak sejarah hubungan antara Kerajaan Gowa dan kawasan Australia utara. Beberapa netizen berpwndapat bahwa klaim warisan geopolitik kuno biasanya sulit dipenuhi, namun dapat dimanfaatkan sebagai dasar negosiasi budaya dan diplomatik.
Jika ketiga kemungkinan tersebut terbukti terlalu berat dan menimbulkan ketegangan diplomatik, para ahli bisa diarahkan untuk menempuh jalur solusi tengah atau win-win solution. Salah satu opsi adalah pengakuan resmi dari Canberra terhadap keberadaan warisan budaya Kerajaan Gowa di wilayah Australia. Sebagai gantinya, pewaris Kerajaan Gowa mengakui kedaulatan Australia atas wilayah tersebut.
Skema yang diusulkan bisa dalam bentuk mendirikan pusat budaya Kesultanan Gowa di Australia, khususnya di wilayah Arnhem Land atau kota Darwin yang memiliki sejarah hubungan panjang dengan pelaut Makassar. Pusat budaya ini akan menjadi simbol pengakuan sejarah dan jembatan diplomasi budaya antara Indonesia, khususnya Makassar, dan Australia.
Selain sebagai pusat pelestarian budaya, lembaga itu juga dapat diusulkan dipimpin langsung oleh Sultan Budaya dari trah Kerajaan Gowa. Posisi ini bersifat simbolis dan kultural, tanpa wewenang politik teritorial, namun memiliki makna penting dalam pelestarian sejarah maritim nusantara dan pengakuan terhadap diaspora budaya Indonesia di Australia.
Beberapa budayawan di Makassar juga dapat diarahkan untuk menyusun konsep awal untuk peringatan tahunan "Hari Marege" di Australia utara, sebagai pengingat hubungan dagang dan budaya pelaut Makassar dengan suku Aborigin selama lebih dari tiga abad. Peringatan ini diproyeksikan dapat menjadi festival internasional yang mempererat hubungan bilateral kedua negara.
Di sisi lain, para pewaris Kerajaan Gowa disarankan untuk menyewa penasihat hukum yang memahami kompleksitas klaim hak ulayat dan hukum adat internasional. Beberapa kalangan hukum seperti pengacara Batak bisa menjadi pilihan tepat, mengingat tradisi Batak sangat kuat dalam mempertahankan hak tanah ulayat dan warisan leluhur di ranah hukum.
Pengacara Batak dikenal piawai dalam argumentasi adat dan memiliki rekam jejak dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat adat di Sumatera maupun dalam forum nasional. Sinergi antara pewaris Gowa dan penasihat hukum Batak diharapkan bisa menghasilkan strategi hukum dan diplomasi budaya yang kuat.
Sejumlah akademisi hukum internasional dari Universitas Hasanuddin Makassar dan Universitas Indonesia pun bisa dilibatkan untuk melakukan kajian mendalam atas arsip kolonial Belanda yang menyebut hubungan Gowa dan Marege. Diharapkan berbagai temuan itu bisa menjadi dasar narasi sejarah yang kuat untuk diplomasi budaya ke depan.
Pemerintah Indonesia sendiri diharapkan dapat memfasilitasi dialog budaya ini, tanpa harus menyeretnya ke ranah politik teritorial yang sensitif. Pengakuan Australia terhadap warisan budaya Makassar di Australia utara dapat memperkuat hubungan Indonesia-Australia, serta memperkenalkan kembali sejarah pelaut nusantara di kancah internasional.
Sejarah memang tak bisa diulang, namun warisan budaya dan identitas bangsa tetap harus diperjuangkan. Kisah pewaris Kerajaan Gowa yang menuntut pengembalian Australia ini bisa menjadi momentum untuk memperkuat jati diri nusantara di mata dunia.
COMMENTS