Ketegangan di kawasan Timur Tengah kembali meningkat setelah muncul laporan bahwa ternyata pesawat-pesawat tempur Israel mengisi...
Ketegangan di kawasan Timur Tengah kembali meningkat setelah muncul laporan bahwa ternyata pesawat-pesawat tempur Israel mengisi bahan bakar di wilayah Deir Ez Zour, Suriah, dalam perjalanan menuju sasaran di Iran. Kejadian ini bukan saja memicu kecaman, tapi juga dianggap sebagai penghinaan terbuka terhadap kedaulatan Suriah, terlebih wilayah itu kini berada di bawah pemerintahan baru pasca lengsernya Bashar Al Assad.
Lebih menyakitkan lagi, hingga kini Israel masih menguasai wilayah Quneitra di luar Dataran Tinggi Golan yang secara sah masih wilayah Suriah. Sejak bertahun-tahun lalu, daerah strategis tersebut menjadi simbol pendudukan dan pelanggaran hukum internasional yang terus berlangsung tanpa perlawanan berarti. Kini, saat Israel menggunakan Deir Ez Zour sebagai jalur logistik militernya, luka lama itu kembali menganga.
Sejak pergantian rezim di Damaskus, situasi alutsista Suriah berada dalam kondisi mengenaskan. Sebagian besar sistem pertahanan udara hancur akibat pemboman Israel saat transisi terjadi. Operasi-operasi udara Israel terhadap depot senjata, pangkalan militer, dan infrastruktur vital Suriah seolah tidak pernah menemukan perlawanan sepadan.
Di lain pihak, militer Irak berupaya memperkuat pertahanan udara di wilayah perbatasan Iran. Namun sayangnya, alutsista yang dikerahkan memiliki spesifikasi yang terbatas. Sumber keamanan Irak menyebut sistem itu tidak memiliki kapabilitas untuk menangkis pesawat-pesawat tempur canggih Israel seperti F-35I “Adir” atau F-15 “Baz” yang kerap beroperasi di ketinggian dan kecepatan tinggi.
Sikap Turki terhadap manuver Israel juga menarik perhatian. Negeri pimpinan Recep Tayyip Erdoğan itu dilaporkan mengusir pesawat Israel yang mencoba menggunakan wilayah udaranya untuk menyerang Iran. Langkah ini disebut-sebut sebagai penegasan sikap Ankara yang menolak keterlibatan dalam konflik terbuka antara Israel dan Iran.
Selama ini, para pengamat militer meyakini bahwa serangan udara Israel ke wilayah Iran adalah misi berisiko tinggi, utamanya karena keterbatasan jarak tempuh varian F-16 mereka yang hanya sekitar 1.040 mil. Namun, sejak beberapa tahun terakhir, Angkatan Udara Israel aktif berlatih pengisian bahan bakar di udara untuk menutupi kekurangan itu. Serangan Israel ke Iran diakui juga dibantu dengan data intelijen AS, Inggris, Perancis dkk
Pada 15 Agustus 2024, Israel menggelar latihan pengisian bahan bakar di udara yang melibatkan pesawat tanker 707 “Re’em” dan jet tempur F-35I “Adir” serta F-15C/D “Baz.” Hal yang cukup langka dalam latihan itu adalah digunakannya persenjataan aktif di pesawat penerima bahan bakar, sesuatu yang jarang dilakukan dalam simulasi biasa.
Dalam pernyataan resminya, Angkatan Udara Israel menyebut latihan tersebut mensimulasikan penerbangan jarak jauh ke belakang garis musuh dan pengisian bahan bakar di waktu singkat. Manuver ini disebut penting untuk mempertahankan keunggulan tempur sekaligus memungkinkan pesawat tempur Israel bertahan lebih lama di udara.
Gambar-gambar resmi yang dirilis memperlihatkan F-35I Israel terbang dalam mode “full stealth,” tanpa radar reflector, menghindari deteksi radar musuh. Israel juga mengklaim F-35 mereka dapat mencapai wilayah Iran tanpa perlu pengisian bahan bakar di udara, meski pernyataan ini masih menyisakan banyak spekulasi terkait teknologi baru seperti drop tank tersembunyi atau tangki bahan bakar konformal.
Pengisian bahan bakar di udara selalu menjadi fase paling rentan dalam operasi tempur jarak jauh. Pesawat tanker dan jet yang sedang menyambung bahan bakar akan menjadi sasaran empuk jika diketahui posisi oleh radar atau sistem pertahanan musuh. Namun, di bawah peta kekuasaan baru di Suriah, konsep “wilayah musuh” sudah mengalami pergeseran sejak akhir 2024 lalu.
Penggunaan wilayah Deir Ez Zour untuk mengisi bahan bakar pesawat Israel bukan hanya soal taktik, tapi juga sebuah pesan politik yang merendahkan sisa-sisa kedaulatan Suriah. Wilayah yang dulunya menjadi arena pertarungan sengit berbagai faksi kini dijadikan jalur operasi Israel tanpa perlawanan berarti dari otoritas setempat.
Peristiwa ini sekaligus mencerminkan kondisi Suriah pasca rezim Assad yang belum pulih seutuhnya. Wilayah yang dulunya dipenuhi sistem pertahanan udara kini nyaris tanpa pelindung. Serangan Israel ke berbagai target di Suriah beberapa tahun terakhir pun nyaris selalu berhasil tanpa intersepsi berarti.
Di sisi lain, meski Irak sudah menempatkan alutsista anti-udara di dekat perbatasan Iran, para analis menyebut kemampuan sistem tersebut masih jauh di bawah teknologi yang dioperasikan Israel. Kemungkinan besar sistem itu hanya mampu menangkal drone dan rudal balistik, namun bukan pesawat siluman atau jet tempur canggih Israel.
Turki menjadi satu-satunya negara yang secara terbuka menolak memberi celah bagi pesawat Israel. Keputusan Ankara mengusir pesawat Israel menunjukkan bahwa Turki enggan terlibat langsung dalam konflik yang bisa memicu perang regional terbuka. Keputusan itu juga menunjukkan perubahan peta politik regional yang kian kompleks.
Sejumlah pengamat menilai, Israel kini memanfaatkan kekosongan kekuatan di Suriah untuk mengamankan jalur serangan ke Iran. Penguasaan atas Quneitra menjadi keuntungan strategis tersendiri bagi Israel untuk operasi-operasi jarak jauh, termasuk misi udara melintasi Suriah dan Irak.
Dalam konteks yang lebih luas, aksi ini memperlihatkan betapa Suriah kini telah menjadi medan operasi berbagai kekuatan asing. Israel bukan satu-satunya pemain, tapi yang paling dominan memanfaatkan kekacauan di sana untuk keuntungan strategisnya di kawasan.
Keberanian Israel mengisi bahan bakar di wilayah Suriah untuk menyerang Iran juga menunjukkan pesan simbolik kepada Teheran. Bahwa kawasan yang dulu menjadi zona anti-Israel kini sudah tak lagi mampu menghalangi pergerakan militer Tel Aviv. Sebuah penghinaan yang tak hanya ditujukan ke Damaskus, tapi juga ke sekutunya di kawasan.
Meski begitu, Iran masih menyimpan beberapa opsi. Selain aliansi dengan kelompok bersenjata di Irak dan Lebanon, Teheran diprediksi akan memperkuat sistem anti-udara di wilayah baratnya sebagai langkah antisipasi atas operasi Israel yang kian agresif. Peta konflik di Timur Tengah pun tampaknya akan kembali bergolak dalam waktu dekat.
COMMENTS