Ketegangan geopolitik di Timur Tengah yang makin memanas belakangan ini tampaknya bukan sebuah peristiwa yang terjadi secara spo...
Ketegangan geopolitik di Timur Tengah yang makin memanas belakangan ini tampaknya bukan sebuah peristiwa yang terjadi secara spontan. Banyak analis meyakini bahwa kemungkinan serangan Israel ke Iran telah dipersiapkan sejak lama, bukan hanya oleh pemerintah Israel, tetapi juga oleh kekuatan pengendali geopolitik global yang memiliki kepentingan di balik konflik tersebut. Indikasi-indikasi kuat tentang hal itu terlihat dari pola ekspansi perusahaan-perusahaan senjata dan aktifnya kembali pabrik-pabrik amunisi yang sebelumnya ditutup.
Peningkatan produksi senjata dalam skala global selama dua tahun terakhir menjadi penanda bahwa para kapitalis perang telah membaca arah konflik jauh sebelum masyarakat umum menyadarinya. Rheinmetall, perusahaan senjata asal Jerman, menjadi salah satu aktor utama dalam geliat bisnis ini. Perusahaan itu bukan hanya memasok senjata ke Ukraina dan Israel, tetapi juga aktif membangun pabrik-pabrik baru di berbagai belahan dunia, termasuk Asia Tenggara.
Sebelumnya diberitakan, Amerika Serikat mendapatkan laporan intelijen terbaru tentang rencana serangan Israel terhadap fasilitas nuklir Iran. Rencana itu tetap disiapkan walau Presiden AS Donald Trump menempuh cara damai, yaitu menggelar perundingan dengan Iran membahas program nuklir negara tersebut.
Disebutkan juga bahwa serangan ke Iran dilakukan atas persetujuan Donald Trump walau rencana pembunuhan pemimoin tertinggi Iran sempat ditolak.
Usai serangan dilakukan Kanselir Jerman memuji keberanian Israel yang telah mengeksekusi 'dirty work' yang seharusnya dilakukan negara-negara Barat.
Ekspansi Pabrik Senjata
Kehadiran pabrik amunisi baru sebagaimana dijelaskan di atas bukanlah tanpa maksud. Selain untuk memenuhi pasar domestik, fasilitas ini juga diarahkan untuk menopang kebutuhan militer kawasan yang memang sudah diprediksi akan memanas akibat konflik besar di Timur Tengah. Dengan semakin banyaknya negara yang menambah anggaran pertahanan, permintaan amunisi dan persenjataan otomatis melonjak drastis.
Sementara itu, laporan keuangan Rheinmetall mencatatkan lonjakan laba dua kali lipat hanya dalam kuartal kedua 2024. Hal ini tak lepas dari perang di Ukraina serta serangan Israel ke Gaza, yang membuat mesin perang terus berputar. CEO Rheinmetall bahkan secara terang-terangan menyambut dana 500 miliar euro yang disiapkan Uni Eropa untuk investasi persenjataan, menganggapnya sebagai peluang emas bagi perusahaan-perusahaan senjata.
Uni Eropa sendiri tercatat sebagai pemasok senjata terbesar kedua bagi Israel setelah Amerika Serikat. Dalam periode 2018 hingga 2022, negara-negara Eropa menjual senjata senilai 1,76 miliar euro ke Israel. Penjualan ini terus berlangsung meskipun Mahkamah Internasional menyatakan Israel melakukan genosida di Gaza. Tak satu pun dari negara-negara itu yang menghentikan ekspor persenjataannya.
Jerman menjadi penyokong terbesar bagi kebutuhan senjata Israel, dengan peningkatan ekspor sepuluh kali lipat hanya dalam kurun satu tahun terakhir. Dari 32 juta euro di tahun 2022 melonjak menjadi 326 juta euro di 2023. Selain lewat jalur resmi, berbagai negara Uni Eropa juga menyiasati regulasi ekspor dengan mendirikan pabrik-pabrik baru di negara ketiga seperti India, Afrika, hingga Indonesia.
Inilah yang membuat rantai distribusi persenjataan global menjadi sulit dilacak. Dengan lebih dari 39 fasilitas produksi Rheinmetall di berbagai negara, proyektil dan komponen militer bisa diproduksi di satu negara dan dikirim ke kawasan konflik tanpa harus melewati aturan ketat ekspor senjata Eropa. Mekanisme ini memungkinkan suplai senjata tetap lancar, bahkan ke negara-negara yang dilarang menerima ekspor persenjataan.
Persiapan logistik semacam ini membuat dugaan tentang rencana serangan Israel ke Iran kian masuk akal. Pasokan amunisi dan persenjataan harus diamankan jauh-jauh hari sebelum sebuah operasi militer besar digelar. Tak hanya itu, latihan pengisian bahan bakar di udara oleh Israel pada Agustus 2024 juga merupakan bagian dari simulasi perang jarak jauh yang kemungkinan besar diarahkan ke Iran.
Israel sejak lama mempersiapkan skenario operasi udara ke Iran, utamanya untuk menghancurkan fasilitas nuklir Teheran. Namun keterbatasan jarak tempuh jet tempur Israel menjadi kendala utama. Melalui latihan-latihan pengisian bahan bakar di udara dan pengembangan F-35I “Adir” yang diklaim bisa mencapai Iran tanpa pengisian bahan bakar, Israel kini dianggap sudah memiliki kapasitas teknis untuk menjalankan misi tersebut.
Pemerintah-pemerintah di kawasan seakan terjebak dalam lingkaran kepentingan bisnis senjata ini. Di satu sisi mereka menyuarakan solidaritas untuk Palestina, namun di sisi lain terus menjalin kerjasama industri pertahanan dengan perusahaan-perusahaan yang menjadi penyokong mesin perang imperialis. Ironi ini tercermin dari kerjasama PT Pindad dengan Rheinmetall yang jelas-jelas memasok senjata ke Israel.
Lebih dari 50 ribu orang tewas di Gaza akibat mesin perang Israel, sementara di Eropa dan Asia pabrik-pabrik senjata justru aktif kembali, meningkatkan kapasitas produksi. Perang bukan hanya tragedi kemanusiaan, tapi juga peluang bisnis yang diperebutkan oleh kapitalis global demi keuntungan finansial.
Kondisi ini tak hanya merugikan rakyat di wilayah konflik, tetapi juga menyengsarakan kelas pekerja di negara-negara produsen senjata. Dana publik yang seharusnya digunakan untuk kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan justru dialihkan untuk memperbesar anggaran pertahanan dan proyek-proyek industri militer.
Perang imperialis modern tak lagi sekadar konflik bersenjata antarnegara, melainkan juga menjadi industri raksasa yang menopang ekonomi kapitalis global. Selama perang masih menjadi ladang bisnis yang menggiurkan, konflik-konflik baru akan terus diciptakan demi melanggengkan arus keuntungan bagi segelintir elit kapitalis.
Ketika pasar senjata dunia terus tumbuh, para pekerja di berbagai belahan dunia justru harus menanggung dampak inflasi, krisis pangan, dan kelangkaan energi yang dipicu oleh perang. Di Gaza, Sudan, dan Yaman, jutaan orang hidup di bawah ancaman kelaparan. Tapi di ruang rapat para direksi perusahaan senjata, laba terus dicetak.
Selama kapitalisme masih bercokol, perang akan terus diproduksi sebagai komoditas. Rencana serangan Israel ke Iran pun bukan sekadar persoalan politik regional, melainkan bagian dari kepentingan bisnis senjata global yang telah lama disusun dan dipersiapkan. Dan setiap peluru yang ditembakkan, akan selalu menyisakan jejak darah rakyat pekerja di belakangnya.
Dibuat oleh AI
COMMENTS